TRADISI KURBAN MANUSIA DI NUSANTARA (PART 2 : Sulawesi)

 

TRADISI KURBAN MANUSIA DI NUSANTARA (PART 2 : Sulawesi)

September 3, 2012 | Leave a comment

 Tradisi kurban manusia di Sulawesi

Masyarakat Toraja mengenal adat Ma’ Barata (pengurbanan manusia) pada upacara Rambu Solo’ yang masih berlaku sampai masuknya Pemerintah Kolonial Belanda, adalah salah satu adat yang diadakan sebagai penghormatan serta sebagai tanda kepahlawanan/keberanian dari seorang bangsawan atau pahlawan dalam perang. Sejak masuknya kolonial Belanda, maka praktis adat ini dilarang.

Adat Ma’ Barata ini berfungsi sebagai :

1.            Tanda penghormatan kepada seseorang pahlawan yang telah mempertahankan kedaulatan negerinya dan kehormatan keluarganya serta masyarakatnya.

2.     Tanda penghormatan kepada seseorang yang mati dalam peperangan terutana   dalam perang saudara dahulu di Toraja.

3.     Tanda penghormatan kepada seseorang yang berjasa.

Adat Ma’ Barata ini dilakukan pada upacara Rapasan, dan seorang yang menjadi kurban Barata diikat tangannya dan ditambatkan pada Simbuang Batu (batu tugu peringatan pada ups Rapasan yang berdiri di tengah Rante), menunggu saatnya dipancung. Kurban Barata ini bisa laki-laki atau perempuan yang ditangkap saat perang atau jika tidak ada perang maka ditangkap dengan cara Mangaun (mengintip untuk menangkap) dari orang – orang yang telah disepakati oleh para Topadatindo. Menurut kesepakatan Topadatindo yang dipegang oleh penerusnya, yang menjadi korban Barata adalah tawanan dalam perang atau orang – orang yang tidak ikut dalam persatuan melawan Arung Palakka ( To Ribang La’bo’, To Simpo Mataran) yang berasal dari daerah Karunanga, suatu daerah yang terletak di bagian utara pegunungan Toraja. Orang-orang inilah yang selalu menjadi buronan pada setiap saat adanya rencana adat Barata, itupun melalui pertarungan karena orang yang diburu selalu mengadakan perlawanan sengit.

Oleh karena sering terjadi perkelahian yang hebat dalam menangkap Kurban Barat, maka sering Kurban Barata itu tidak dapat ditangkap hidup-hidup. Dalam keadaan kurban mati, maka hanya diambil kepala dari pada kurban dan dibawa ke tempat Upacara Pemakaman sebagai tanda bahwa orang yang mati ini sudah memiliki kurban manusia untuknya sebagai tanda peranannya di masyarakat pada masa hidupnya. Orang yang diupacarakan dengan adanya Kurban Barata ini dinamakan To di Pa’barataan.

Saat ini masih ada tongkonan-tongkonan yang berkuasa di Tana Toraja yang menyimpan Kepala/tengkorak Manusia yaitu tengkorak manusia Kurban Barata atau kepala yang dirampas dalam perang saudara di Tana Toraja, sebagai tanda bahwa turunan dari tongkonan ini adalah turunan pemberani serta turunannya dahulu ada yang dimakamkan dengan upacara adat Barata dan Tongkonan itu merupakan Tongkonan Penguasa yang Pemberani.

Lalu ada juga suku bangsa To Seko di Sulawesi Tengah juga mengenal kurban manusia yang disebut tandasong. Tandasong ini diantar mengelilingi suatu daerah sebelum ia dibunuh pada puncak perayaan besar. Kegiatan ini dipercaya dapat memancarkan daya hidup kurban sehingga menguntungkan seluruh daerah itu.

(Part 3 : Sumatra) http://awamisme.wordpress.com/2012/09/03/tradisi-kurban-manusia-di-nusantara-part-3-sulawesi/

 

Diolah dari :
Agama Asli Indonesia oleh Rahmat Subagja

Source: http://awamisme.wordpress.com/2012/09/03/tradisi-kurban/

Leave a comment